Dalamsuatu pembelajaran,keterampilan bertanya bukanlah segala-galanya.Masih banyak faktor – faktor lain yang menentukan keberhasilan suatu pembelajaran.Faktor – faktor tersebut antara lain kurikulum yang menjadi acuan dasarnya,program pengajaran,kualitas guru,materi pembelajaran,strategi pembelajaran,sumber belajar,dan teknik / bentuk
Memperluasjejaring antarguru untuk berbagi ilmu maupun bertukar pendapat yang lebih berkualitas. Penerapan Merdeka Belajar memberi kesempatan guru lebih berekspresi, bereksperimen, berkolaborasi, berkreasi, dan berinovatif. Selamat ”BERJUANG” untuk Merdeka Belajar! (*) Editor: Ali Mustofa. pendidikan. tingkatkan kompetensi.
Anggota komunitas turut berpartisipasi dalam pembentukan aturan dan ekspektasi dari edukasi ini. Sekolah juga tidak mewajibkan kehadiran. Summerhill pada usianya yang hampir ke-100 tahun telah meluluskan banyak siswa. Siswa tak hanya belajar dasar-dasar edukasi saja, tetapi juga bidang akademik lainnya. Mereka mempelajari pelajaran hingga lulus tanpa ada keterpaksaan. Setiap manusia, termasuk anak-anak, memiliki caranya sendiri dalam menangkap pelajaran dan bagaimana mereka menerapkan pelajaran ke dalam kehidupan secara alami. Secara alami, mereka akan mengetahui cara memecahkan kemampuan alami manusia untuk belajar ini ditumpulkan dengan beragam aturan yang memaksa. Terkadang metode pembelajaran seperti ini tidak lagi dipandang mudah dan efektif bagi masing-masing individu. Meskipun di Indonesia memiliki sistem pembelajaran yang sudah ditetapkan secara nasional, orangtua dan guru perlu memberikan dukungan penuh untuk anak. Mengajari anak tanpa memaksa, tak ada salahnya kok Perlu orangtua ketahui bahwa anak-anak secara biologis diprogram untuk belajar. Pembelajaran dimulai ketika ia berada di masa kanak-kanak. Anak akan membutuhkan banyak informasi sebagai bekal untuk bertahan hidup dan berkembang ketika ia beranjak dewasa. Mungkin Anda tak bisa menghindarkan anak-anak untuk belajar menulis, membaca, atau matematika. Memang membutuhkan banyak usaha dan pelatihan intensif sehingga mereka mengerti pelajaran dasar tersebut. Orangtua sebaiknya tak perlu berekspektasi tinggi dalam mengajarkan anak. Karena proses tempuh setiap anak berbeda. Namun, ingatlah untuk mengajari anak tanpa memaksa. Ketika mengajarkan anak, orangtua maupun guru perlu kesabaran penuh. Beritahu anak untuk mencoba menyelesaikan apa yang dikerjakan. Jika mereka melakukan kesalahan saat belajar, tetap arahkan mereka untuk berpikir hingga menemui solusi atau hasil akhirnya. Meskipun sebagai pembelajar alami, anak masih tetap membutuhkan peran orangtua dan guru. Ingatkan bahwa anak menemukan kesulitan saat belajar, jangan takut untuk meminta bantuan orangtua atau guru. Bagaimanapun komunikasi penting sebagai bentuk pembelajaran anak. Sehingga pada masa yang akan datang, mereka memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikannya. Anak akan lebih mudah mencerna ketika orangtua atau guru mengajari mereka tanpa memaksa. Ketahuilah bahwa tiap anak memiliki kecepatan dan kemampuan belajar yang berbeda. Terkadang tekanan dalam belajar membuatnya mudah stres, sehingga ia sulit mengerti pelajaran yang diterimanya. Oleh karenanya, anak membutuhkan suasana yang rileks, tenang, dan santai dalam kegiatan belajarnya. Dukungan suasana juga membantu mereka menangkap pelajaran yang diterimanya. Sebagai pendamping, perlu diingat setiap anak memiliki proses belajar yang berbeda. Pujilah ketika ia berhasil melakukan pencapaian apapun hasilnya. Pendamping menjadi agen motivasi anak lebih maju. Maka itu, penting untuk mengajari anak tanpa memaksa. Tips mendidik anak tanpa memaksa Mengajari anak tanpa memaksa mendukung ia berpikir jernih ke depan dalam menghadapi masalah dan mencari solusi. Orangtua sebagai pendamping bertugas memotivasi anak. Dukungan orangtua bisa menjadi kekuatan anak untuk mencapai tujuannya. Berikut tips mendidik anak yang bisa Anda terapkan. 1. Pahami kekuatan anak Sebagai orangtua, Anda perlu mengetahui kekuatan dan kelebihan anak terhadap hal yang disukainya. Kemudian, cobalah memotivasinya untuk melakukan tantangan selanjutnya. Misalnya, ketika anak suka menulis cerita, motivasi ia untuk mengikuti lomba menulis cerpen. Kemudian dukung ia untuk menulis buku kumpulan cerpen dari hasil karya yang telah ia buat. 2. Tetap di samping anak ketika ia gagal Mengajari anak tanpa memaksa bisa dilakukan dengan memberikannya semangat sehingga ia tetap berkomitmen dengan melakukan hal yang menjadi kelebihannya. Terkadang jalan hidup tidak semulus yang dibayangkan. Saat anak berusaha menjalani hal yang disukainya, pada satu waktu ia gagal. Misalnya, anak hobi menari balet. Pada masanya ia pentas, anak terjatuh di atas panggung. Sementara penonton yang lain tertawa dan teman-temannya pun mengejeknya. Tetaplah berada di sampingnya dan bangun semangat dan kepercayaan dirinya, besarkan hatinya. Saat ia gagal, cobalah katakan “Tidak apa-apa, Nak. Kamu sudah lakukan yang terbaik. Ke depannya Ibu/Ayah yakin kamu bisa. Kita hadapi bersama, jangan takut ya.” 3. Pujilah anak atas pencapainnya Setelah beragam proses yang dilalui anak, pujilah anak pada tiap pencapaiannya. Pujian menumbuhkan kepercayaan diri anak untuk tetap maju dan berkembang. Pencapaiannya tak mudah, karena anak melalui proses belajar yang melelahkan dan tak mudah. Cara sederhana ini dapat Anda lakukan sebagai langkah mengajari anak tanpa memaksa.
Misalnyaseperti memberi hadiah spesial, ucapan yang puitis ataupun sekadar menyampaikan langsung rasa sayang kita kepada bapak dan ibu guru tercinta. Nah, kalau kamu kepikiran buat kasih ucapan terima kasih untuk guru yang so sweet dan mengharukan, beberapa ucapan ini bisa jadi inspirasi kamu, Quipperian. “Guru, jasamu sangatlah besar,
Ilmu adalah gedung, sedangkan kuncinya adalah bertanya, belajar agama tanpa guru seperti dibimbing oleh “setan” AKHIR-akhir ini kita sering mendengar himbauan dan saran untuk mempelajari ilmu agama hanya dengan berpedoman pada buku-buku yang dibeli tanpa perlu berkonsultasi dan dengan para ulama. Mereka juga merasa yakin dengan pemahamannya sendiri seolah menyamakan tingkat ilmu agama yang sangat rumit dan membutuhkan penjelasan dari para ulama dengan ilmu-ilmu duniawi lainnya. Kemudian ada kelompok tertentu yang merasa cukup mumpuni untuk memasuki bidang ini hanya dengan membaca buku saja. Gejala ini mengundang berbagai dampak negatif, antara lain lemahnya pemahaman dan pendalaman dalam suatu bidang ilmu dengan gambaran nyata. Hal ini karena ilmu Islam tidak hanya memuat fakta dan pernyataan, sebenarnya membutuhkan pemahaman yang jelas dari dada para ulama yang mengambil ilmu dari ulama sebelumnya hingga sampai kepada Nabi Muhammad ﷺ. Tanpa bimbingan dari para ulama atau guru, jika terjadi salah paham ketika membaca, seseorang akan terus tersesat pemahamannya dan berakibat menyesatkan orang lain. Itulah sebabnya ada pernyataan bahwa mempelajari agama sendiri dengan kitab-kitab saja tanpa bimbingan seorang ulama/guru seperti dibimbing oleh setan walaupun kebanyakan ulama menganggap pernyataan ini bukan hadits melainkan Ibnu Arabi dalam kitabnya al-Futuhat al -Makiah menganggap bahwa pernyataan ini adalah hadits. Karena masalah ini telah menjadi perdebatan, saya ingin meluangkan waktu untuk menjelaskan masalah ini. Semoga penjelasan singkat ini bermanfaat bagi semua pihak. Ulama adalah pewaris para Nabi Kata ulama merupakan bentuk jamak dari akar kata alim yang berarti orang yang memiliki ilmu yang sangat dalam. Hal ini berbeda dengan kata alim yang berarti orang yang mengetahui tetapi belum tentu mengerti. Kata-kata ulama ini telah disebutkan di beberapa tempat dalam al-Quran al-Karim dan al-Hadits ﷺ baik secara langsung maupun tidak langsung, yang menunjukkan bahwa ulama adalah individu-individu terpilih yang menguasai ilmu Allah Ta’ala secara mendalam dan memiliki akhlak terpuji. Oleh karena itu, ulama yang saya maksud di sini adalah seorang ahli yang memiliki pengetahuan mendalam tentang agama Islam dengan syarat-syarat tertentu sebagai seorang ulama. Ulama adalah mereka yang mampu mengungkap dan memahami dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Hadits ﷺ dengan sempurna. Mereka juga tidak hanya memahami dalil dan penjelasan dari para ulama masa lalu salaf, bahkan ada yang menghafal ratusan ribu hadits, ilmu yang luas dan sebagainya hingga memenuhi syarat untuk disebut sebagai ulama. Mereka selalu istiqomah dan memperoleh dengan keikhlasan yang diajarkan kepada mereka dari Nabi ﷺ. Islam telah mengakui ulama sebagai ahli waris para nabi sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits مَنْ سَلَكَ طَرِيقًا يَطْلُبُ فِيهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيقًا مِنْ طُرُقِ الْجَنَّةِ وَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ لَتَضَعُ أَجْنِحَتَهَا رِضًا لِطَالِبِ الْعِلْمِ وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِي اْلأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِي جَوْفِ الْمَاءِ وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ عَلَى الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ وَإِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ وَإِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهُ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ» “Siapa saja yang menempuh perjalanan untuk mencari ilmu, Allah memperjalankannya di atas salah satu jalan surga. Sesungguhnya para malaikat meletakkan sayap mereka karena ridha kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya seorang alim itu dimintakan ampunan oleh makhluk yang ada di langit dan di bumi hingga ikan yang ada di dasar lautan. Sesungguhnya keutamaan seorang alim atas seorang abid ahli ibadah seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, melainkan mewariskan ilmu. Karena itu, siapa saja yang mengambilnya, ia telah mengambil bagian yang besar.” HR Abu Dawud, Ibn Majah, at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi, al-Hakim, al-Baihaqi dan Ibn Hibban. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan di sini bahwa ulama adalah golongan yang mendapatkan keuntungan dan kemuliaan dalam agama Islam dengan mengakui mereka sebagai ahli waris para nabi. Karena ulama memiliki tempat khusus dalam masyarakat, maka banyak kelompok tertentu yang seolah-olah mengaku setingkat dengan ulama padahal ia baru saja pada tahap awal memahami ilmu-ilmu keislaman. Kelompok inilah yang akan menghancurkan syariat agama sedikit demi sedikit daripada mengikuti ajaran para ulama yang sesungguhnya. Pentingnya belajar agama langsung dari ulama Kita sudah terbiasa mendengar suara-suara perbedaan pendapat dari kelompok-kelompok tertentu yang berusaha keras merendahkan ilmu dan kemuliaan para ulama untuk menutupi kelemahan dan kesalahan yang mereka perbuat. Beberapa dari mereka bahkan ada yang berdalih, bahwa para ulama tidak maksum, ia tidak seperti Nabi ﷺ dan kemudian menyarankan bahwa tidak perlu mengikuti bimbingan para ulama untuk memahami urusan Islam. Mereka juga mengatakan bahwa dalil-dalil al-Quran al-Karim dan al-Hadits ﷺ hanya bisa langsung diambil dengan pemahaman mereka sendiri dengan hanya merujuk pada kitab-kitab tertentu. Apakah tindakan ini sesuai dengan Islam? Allah berfirman وَمَآ أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِىٓ إِلَيْهِمْ ۚ فَسْـَٔلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, Jadi sebaiknya Anda bertanya kepada ahli dzikir ulama jika Anda tidak tahu.” QS al-Nahl Ayat 43. Imam Syatibi dalam karyanya al-Muwafaqat telah menjawab pertanyaan ini dengan argumennya yang mengatakan betapa pentingnya bagi guru untuk memperdalam dan memahami sesuatu. Imam Shatibi juga mengatakan bahwa para ulama telah mengatakan “Sesungguhnya ilmu itu ada di dada guru, kemudian ilmu itu dipindahkan ke dalam kitab. Jadi kunci ilmu tetap di tangan guru.” إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا “Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.” HR. Bukhari, Muslim, At-Thabrani, dan Ahmad dari empat orang sahabat. Menurut Imam Syatibi lagi, hadits ini sebagai dalil bahwa guru adalah kunci ilmu dan perlunya menuntut ilmu dari dada guru. Selain itu, bagi siswa/santri yang belum memahami sesuatu yang dipelajarinya, dapat terus meminta penjelasan kepada guru/ulama sampai semuanya jelas. Sedangkan bagi mereka yang belajar tanpa guru, pemahamannya sangat terbatas berdasarkan buku-buku yang ada di hadapannya. Bisa jadi pemahaman mereka benar dan bisa juga pemahaman mereka salah. Makna Nabi ﷺ bersabda الْعِلْمُ خَزَائِنُ وَمِفْتَاحُهَا السُّؤَال ﻣَﻦْ ﻳُﺮِﺩِ ﺍﻟﻠﻪُ ﺑِﻪِ ﺧَﻴْﺮًﺍ ﻳُﻔَﻘِّﻬْﻪُ ﻓِﻲ ﺍﻟﺪِّﻳﻦِ ويلهمه رشده “Ilmu adalah gedung/lemari, sedangkan kuncinya adalah bertanya. Barangsiapa dikehendaki Allah swt kebaikan, maka akan dipahamkan dalam agama, diilhamkan petunjukNya.” HR Bukhari Kritik belajar agama tanpa bimbingan ulama dan guru Sanggahan dan kritik menuntut ilmu tanpa bimbingan ulama/guru saya kutip dari kata-kata Syeikh Prof. Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Pernyataannya diambil dari kitabnya al-Sahwah al-Islamiah Baina al-Jumud Wa al-Tatarruf, beliau mengatakan “Kebanyakan dari mereka tidak bertalaqqi belajar langsung dengan ulama dan syeikh yang memiliki ilmu khusus di bidangnya. Di sisi lain, mereka hanya mempelajari halaman demi halaman buku secara langsung tanpa membuka kesempatan dan waktu untuk merujuk dan membahas apa yang akan diambil dan menolak pendapatnya untuk memungkinkan identifikasi pemahaman dan pengetahuan yang ditempatkan dalam perkuliahan di kedalaman. Ini akan disajikan dan dibahas selama masa studi. Namun sayangnya mereka hanya membaca sedikit dan berdasarkan pemahaman yang sangat sedikit mereka lalu mengeluarkan instinbath dan mengeluarkan hukum-hakam.” Barangkali mereka salah membaca, salah paham atau salah mengistinbatkan hukum, tetapi mereka tetap tidak tahu kesalahannya. Lebih lanjut beliau menambahkan “Meski orang-orang ini ikhlas, namun kenyataannya mereka lupa bahwa ilmu Syariat agama Islam dan pemahamannya perlu dirujuk kepada ahlinya yang bisa dipercaya. Memang, mereka tidak akan bisa menyebrangi lautan luas ini sendirian tanpa pemandu ulama/guru yang selalu membimbing tangan mereka. Panduan ini akan menjelaskan kepada mereka apa yang tidak jelas dan istilah-istilah yang memiliki kesamaran dan menjelaskan dari cabang ke apa yang utama dan akan menunjukkan semua kesamaran.” Di akhir penjelasannya tentang hal ini, beliau kembali menegaskan pernyataannya bahwa perlunya berguru untuk mempelajari ilmu agama “Ini mempelajari ilmu agama dengan ulama/guru inilah yang telah diambil sebagai tindakan pencegahan oleh ulama Salafus Sholeh agar menjauhi belajar ilmu dengan cara ini tanpa guru. Mereka berkata Jangan mengambil al-Qur’an al-Karim hanya dengan mushafnya dan bukankah ilmu diambil dengan hanya dari mushafnya kitab. Yang dimaksud dengan mengambil hanya dari mushaf adalah menghafal al-Qur’an al-Karim dari catatan-catatan pada mushaf tanpa berbicara mengambil dan mempelajari ilmu secara tatap muka dengan ulama/guru dengan mulut-mulut guru yang diyakini keilmuannya.” Syekh al-Qaradhawi berkata lagi dalam bukunya al-Sahwah al-Islamiyyah Min al-Murahaqah Ila al-Rusyd “Memang banyak anak muda zaman sekarang yang hanya membaca beberapa buku, khususnya ilmu hadits, kemudian merasa sudah ahli dalam ilmu, padahal belum mencicipi awalnya. Mengklaim bahwa mereka mampu berijtihad dalam urusan agama, sekaligus pengetahuan tentang bahasa Arab dan komponen-komponennya serta nahu dan sumsum tulang belakang. Jika Anda meminta mereka untuk membacakan sebuah ayat, mereka tidak akan dapat menjawabnya dengan baik. Mereka juga tidak mempelajari ilmu Ushul Fiqh! Hanya menebak dugaan apa pun yang seharusnya tahu tentang semua masalah. Hal ini menyebabkan mereka tidak cakap dalam ilmu fiqih apalagi membenamkan diri dalam lautan luas perdebatan yang akan membuat mereka semakin terampil dan mampu memahami dengan baik. Memang orang-orang ini seperti apa yang dikatakan Imam Zahabi, “Saya ingin terbang tetapi tidak ada sayap.” Bisakah langsung belajar langsung dari buku? Meski saya menyerukan menuntut ilmu agama dengan ulama/guru terpercaya, bukan berarti saya menolak sama sekali belajar melalui buku. Hanya saja pembelajaran dengan buku tanpa guru perlu diberikan perhatian tentang kebutuhannya pada suatu saat. Bagi mereka yang berada pada jenjang pendidikan awal dan menengah, maka dapat dipastikan tuntutan untuk mempelajari ilmu secara keguruan lebih diutamakan karena tidak memiliki landasan yang kokoh tentang suatu ilmu tertentu. Setelah mereka memahami dan memperdalam semua dasar-dasar yang diperlukan dengan kuat, maka mereka harus membaca buku-buku terkait untuk menambah pengetahuan mereka. Namun, jika ada hal-hal yang tidak dipahami atau ada kerancuan selama pembacaan/belajar, maka tetap diminta untuk bertanya kembali kepada ulama/guru. Bagi yang tidak berkesempatan untuk menuntut ilmu melalui pendidikan, juga diwajibkan untuk membaca buku atau mendengarkan ceramah dan juga dapat membaca di internet untuk menambah ilmunya. Namun jika ada hal-hal yang kurang dipahami, maka harus merujuk juga kepada ulama/guru terpercaya untuk mendapatkan penjelasan lebih lanjut. Hal ini dikarenakan seorang ulama/guru memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap ilmu tersebut dibandingkan dengan orang yang hanya membaca buku sebagai referensi. Oleh karena itu, keutamaan dan keunggulan sudah pasti pada mereka yang belajar ilmu agama dengan seorang guru jika dibandingkan dengan kelompok yang belajar ilmu agama tanpa belajar. Karena menuntut ilmu agama dengan menuntut ilmu merupakan jalan yang ditempuh oleh generasi Salaf dan para ulama lainnya. Sedangkan bagi yang sudah mempelajari dan menguasai semua dasar-dasar ilmu dapat membaca sendiri karena mampu memahami isi kitab berdasarkan apa yang telah dipelajari dari para ulama/guru sebelumnya. Penutup Jika agama Islam menganjurkan belajar tanpa guru, mengapa para ulama terdahulu rela merantau dan berpindah-pindah untuk menuntut ilmu pada ulama yang terpercaya alim? Padahal, mereka memiliki ratusan guru yang merupakan ulama muktabar, bukankah ini menunjukkan pentingnya mengajar dalam menuntut ilmu agama? Mungkin ada yang mengira zaman dulu tidak memiliki teknologi yang canggih seperti sekarang, karena itulah mereka hijrah untuk menuntut ilmu. Jika pernyataan ini benar, mengapa Nabi ﷺ menganjurkan umatnya untuk belajar murid dan mengajar guru? Bukankah ini menunjukkan betapa pentingnya mempelajari ilmu agama? Tidak mungkin semua anjuran Nabi ﷺ salah, apalagi tidak mengikuti perkembangan zaman, bukan? Kata Muhammad bin Sirin seorang ulama di era tabi’in sebagaimana disebutkan dalam kitab Shahih Muslim yang ditulis oleh Imam Muslim; إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ Sesungguhnya ilmu itu adalah agama. Maka dari itu, perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian. Lihat Muqaddimah Shahih Muslim.*/Muhammad Rashidi Wahab, alumni Al-Azhar,
13 "Ilmu tanpa amal/praktek bagaikan pohon yang tidak berbuah." 14. "Terus berjalan meskipun dihantui kelelahan, terus belajar meskipun didekati oleh kebosanan, karena hal-hal yang kita lakukan pasti akan selalu ada hambatan yang menghalangi." 15. "Apa pun kata orang lain, belajar dan bekerja keraslah untuk mencapai kesuksesan." 16.o16OW.